Friday, July 15, 2011

22 Juta Balita Akan Tentukan Masa Depan Indonesia




Masa depan sebuah bangsa terletak di tangan generasi mudanya, termasuk yang masih berusia balita. Indonesia memiliki sekitar 22 juta balita, yang harus dijamin kesehatan dan tumbuh kembangnya agar kelak bisa turut membangun bangsa.

Staf Ahli Menteri Kesehatan Bidang Bidang Peningkatan Kapasitas dan Desentralisasi, dr Krisnajaya, MS memperkirakan jumlah anak balita (bawah lima tahun) Indonesia mencapai 10 persen dari populasi penduduk. Jika jumlah penduduknya 220-240 juta jiwa, maka setidaknya ada 22 juta balita di Indonesia.

"Kelompok balita yang jumlahnya sekitar 22 juta adalah kelompok potensial untuk ditangani sebagai salah satu upaya pembangunan manusia Indonesia agar kelak bisa bersaing di tingkat global," ungkap dr Krisna dalam acara "Gebyar Posyandu" menyambut Hari Anak Nasional di Plasa Bintaro, Jumat (15/7/2011).

dr Krisna menilai balita sebagai kelompok potensial karena pada usia ini anak-anak mengalami periode emas perkembangan fisik, mental dan intelekual. Jika tumbuh kembang anak mendapatkan perhatian lebih, maka saat dewasa akan menjadi warga yang berkualitas.

Sebaliknya jika pada usia ini anak tidak mendapat perhatian terkait kesehatan dan tumbuh kembangnya, maka saat dewasa akan cenderung sakit-sakitan dan tidak produktif. Makin banyak balita yang tidak mendapat perhatian dan kasih sayang, makin banyak warga negara yang tidak berkualitas.

Sebagai upaya untuk menjamin kesehatan dan tumbuh kembang balita, dr Keisna mengatakan bahwa gerakan Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) cukup penting peranannya. Di Posyandu, beberapa hal bisa dilakukan di bawah pengawasan bidan antara lain sebagai berikut.

1. Pemeriksaan kehamilan
2. Deteksi dini tumbuh kembang anak
3. Imunisasi dan pemberian vitamin A
4. Konseling/penyuluhan kesehatan ibu dan anak.

Saat ini, dr Krisna memperkirakan ada sedikitnya 269 ribu Posyandu yang tersebar di seluruh Indonesia. Dengan adanya Posyandu di hampir setiap desa, hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010 menunjukkan adanya harapan untuk meningkatkan kesehatan anak antara lain melalui data berikut ini.

1. Balita yang mendapatkan pemantauan kesehatan melalui penimbangan badan meningkat menjadi 75 persen
2. Pemberian imunisasi campak pada usia 12-32 bulan meningkat menjadi 75 persen
3. Pemberian vitamin A mencapai 70 persen.

Perlukah Banyak-banyak Jejaring Sosial?




Kian hari, para pengguna aktif social media nampaknya semakin dimanjakan dengan hadirnya berbagai channel untuk melakukan social networking.

Setelah Twitter dan Facebook -- yang hingga saat ini masih menguasai pasar dan menjadi media sosial favorit banyak orang -- kini hadir Google+ yang gegap gempita kabar kehadirannya sempat menjadi trending topic di Twitter. Selama berhari-hari, saya yakin, linimasa para pengguna Twitter dipenuhi oleh nyaris hanya satu hal ini: Google+.

Belum tersedia data valid (atau sudah?) mengenai berapa jumlah pengguna Google+ sampai dengan saat ini. Namun, yang jelas, ada satu hal mendasar yang menjadi perhatian saya, dan barangkali banyak orang lain. Yakni bahwa, ternyata, teman-teman yang kita temukan di sana adalah juga lingkaran teman online yang selama ini kita akrabi juga di sekian banyak channel yang telah ada sebelumnya.

Pertanyaan besarnya adalah, betulkah kita memang se-sosial itu? Betulkah kita semua memang membutuhkan begitu banyak jenis media, yang nyata-nyata meski terlihat berbeda tapi serupa, untuk berinteraksi dengan orang lain?

Mari sedikit menengok ke belakang, ke beberapa saat yang lalu, ketika social media channel yang location based seperti Foursquare dan Koprol sedang menjadi primadona.

Semua kita seolah berlomba-lomba mengumumkan kepada dunia, bahwa kita sedang berada di lokasi atau tempat tertentu: mall A, gedung ini, lapangan basket itu. Saat itu, semua orang seolah-olah terbawa euphoria missal, yang membuat privasi tak ada artinya lagi.

Belakangan, Foursquare seolah-olah hanya menjadi ajang untuk ngumpulin badge sekaligus lucu-lucuan. Setiap orang bisa saja menciptakan venue sendiri, dan semua orang juga dengan mudah melakukan check in di sembarang tempat, tanpa harus benar-benar berada di lokasi tersebut.

Saya pribadi bahkan pernah punya tempat check in favorit: Pohon Mangga Depan Rumah, yang saya ibaratkan sebagai kamar tidur. Dan di sanalah saya check in hampir setiap dini hari -- yang lantas saya share via Twitter-- ketika semua pekerjaan sudah rampung, dan jam tidur saya sudah tiba. Padahal, tentu saja saya tidak tidur di atas pohon mangga.

Pada akhirnya, saya belajar bahwa tak ada satu manusia pun yang butuh untuk menjadi sangat sosial. Sadar atau tidak, ada privasi yang tetap ingin kita jaga. Ada pula saat-saat kita merasa, bahwa sebaiknya orang lain tidak perlu tahu kita sedang berada di mana dan melakukan apa.

Bahkan dengan lingkaran terdekat pun, manusia tetap membutuhkan ruang dan jarak yang membuat dirinya merasa aman dan nyaman.

Kembali ke Google+, seperti yang sudah-sudah, saya termasuk golongan yang ikut arus riuh rendah mainan baru ini. Sekadar punya akun, cukup sampai di situ saja.

Dan toh ternyata, orang-orang yang berteman dengan saya di sana adalah teman-teman yang itu-itu juga. Teman jalan, rekan kerja, hampir tidak terasa bedanya dengan lingkaran pertemanan di social networking yang lain.