
Air Susu Ibu (ASI) mengandung zat-zat esensial yang menjamin kecukupan gizi bayi serta bermanfaat untuk meningkatkan daya tahan tubuhnya. Sayangnya, tidak semua bayi beruntung mendapat ASI eksklusif selama 6 bulan pertama sejak kelahirannya.
Pada tahun 2006 WHO mengeluarkan Standar Pertumbuhan Anak yang kemudian diterapkan di seluruh dunia. Isinya adalah menekankan pentingnya pemberian ASI saja kepada bayi sejak lahir sampai usia 6 bulan. Setelah itu, barulah bayi mulai diberikan makanan pendamping ASI sambil tetap disusui hingga usianya mencapai 2 tahun.
Di Indonesia, anjuran ini dipertegas dengan Peraturan Pemerintah Nomor 33 tahun 2012 tentang Pemberian ASI Eksklusif. Perturan ini menyatakan kewajiban ibu untuk menyusui bayinya secara eksklusif sejak lahir sampai berusia 6 bulan,
Upaya pemerintah ini lantas mendapat sambutan positif dari dunia internasional. Majalah Time Healthland dalam edisi parenting edisi Februari 2012 bahkan sampai memuat headline 'What the US Can Learn from Indonesia about Breastfeeding'. Tapi nyatanya, realisasi dari peraturan pemerintah tersebut masih kurang.
"Dari berbagai sumber data dapat saya simpulkan bahwa perkembangan cakupan pemberian ASI Eksklusif di Indonesia masih rendah dan menunjukkan perkembangan yang sangat lambat. Data Susenas 2010 menunjukkan bahwa baru 33,6% bayi kita mendapatkan ASI, tidak banyak perbedaan dengan capaian di negara lain di Asia Tenggara," kata Menteri Kesehatan RI, Nafsiah Mboi dalam acara pembukaan Pekan ASI Sedunia 2012 di Balai Kartini, Jakarta, Rabu (19/9/2012).
Pencapaian ini memang kurang dapat dibanggakan. Sebagai perbandingan, cakupan ASI Eksklusif di India saja sudah mencapai 46%, di Philippines 34%, di Vietnam 27% dan di Myanmar 24%.
Dalam kesempatan yang sama, Menkes juga menyoroti beberapa faktor penyebab rendahnya cakupan ASI eksklusif di Indonesia. Data Riset Fasilitas Kesehatan Dasar 2011 mengungkapkan bahwa baru sekitar 40% Rumah Sakit yang melaksanakan Rumah Sakit Sayang Ibu dan Bayi sebagai penerapan 10 Langkah Keberhasilan Menyusui.
Tak hanya itu, hasil rapid assessment 2010 menemukan banyak Rumah Sakit Pemerintah dan Swasta menerima sponsor dan hadiah berupa sampel susu formula, tas kit, kalender, ballpoint, blok note, Kartu Status Anak dan bentuk lainnya yang melemahkan upaya peningkatan ASI Eksklusif.
Selain itu, Menkes juga menyatakan bahwa penyebarluasan informasi di antara petugas kesehatan dan masyarakat ternyata juga belum optimal. Hanya sekitar 60% masyarakat tahu informasi tentang ASI dan baru ada sekitar 40 % tenaga kesehatan terlatih yang bisa memberikan konseling menyusui.
Melihat kenyataan ini, Menkes mengajak berbagai lapisan masyarakat untuk mendukung para ibu agar mau memberikan ASI eksklusif kepada bayinya. Pihak perusahaan dan kantor-kantor pemerintahan juga dihimbau agar menyediakan ruang laktasi khusus untuk ibu menyusui.
"Pemberian ASI eksklusif adalah hak ibu dan anak. Jika kita tidak dapat memberikannya, itu artinya kit merampas hak ibu dan anak," tegas Menkes.