Sebagian orang mungkin merasa kesusahan bangun tidur tepat waktu karena di malam hari mereka kesulitan untuk tidur hingga larut malam. Hati-hati, bisa jadi ini pertanda munculnya gangguan tidur yang disebut Delayed Sleep Phase Disorder (DSPD).
DSPD adalah gangguan tidur yang seringkali disalahartikan dengan insomnia. Penderita DSPD rutin mengalami susah tidur tapi sekali mereka tertidur maka durasinya akan melebihi jam tidur biasa lalu terbangun di siang hari atau mendekati sore hari. Sebaliknya, pasien insomnia terkadang susah tertidur, sering terbangun atau bangun terlalu cepat (bisa juga kombinasi ketiganya).
Selain itu, pasien insomnia jarang bisa tidur semalam suntuk, bahkan mungkin di hari libur. Tapi penderita DSPD bisa tidur semalaman dan jarang bisa terbangun tepat waktu di pagi hari.
Mungkin kebanyakan orang merasa normal jika mereka begadang untuk bersosialisasi atau bekerja lalu keesokan harinya mereka bisa memuas-muaskan diri untuk tidur, tapi penderita DSPD juga cenderung kesulitan untuk kembali ke jadwal tidur-bangun 'normal' meski telah berulang kali mencobanya.
Agar bisa tertidur, penderita DSPS pun harus berbaring di ranjang selama berjam-jam dulu. Sayangnya sekali bisa tertidur maka secara alami mereka akan 'kebablasan' dan bangun kesiangan.
Secara keseluruhan, DSPD adalah akibat dari siklus tidur yang tertunda. Jam biologis seharusnya mengatur kapan seseorang harus tidur, bangun, merasa lapar dan kapan sejumlah hormon harus dilepaskan dari tubuh. Namun pada penderita DSPS, jam biologisnya datang belakangan alias terlambat sehingga mereka sering tidur larut malam tapi bangun kesiangan.
DSPD paling sering ditemukan pada remaja tapi kondisi ini juga bisa terjadi pada orang dewasa. Pasalnya, saat masih kecil mereka harus tidur sejak jam 8-9 malam tapi memasuki usia remaja, secara alami jam tidurnya berubah menjadi jam 11 malam atau tengah malam.
Tidur larut malam itulah yang memotong durasi tidur yang dibutuhkan remaja (9-10 jam) sehingga ketika mereka tidur larut malam, paginya mereka akan sulit bangun, merasa kurang tidur dan kelelahan sepanjang hari. Tapi kondisi ini hanya terjadi pada remaja tertentu.
Meski begitu jika perubahan jam biologis ini menimbulkan masalah terkait fungsi tubuh seseorang dalam aktivitas hariannya, bisa jadi hal itu merupakan gejala dari DSPD dan harus segera diberi pengobatan. Berikut tiga metode pengobatan utama untuk DSPD seperti halnya dikutip dari huffingtonpost, Senin (8/10/2012):
1. Chronotherapy atau mengatur ulang jam biologis pasien
Pasien akan diminta tidur (dan bangun) 2-3 jam setiap harinya hingga mencapai jam tidur normal dan lama-kelamaan waktu bangunnya akan menyesuaikan dengan jam bangun tidur normal.
Meski sangat efektif, metode ini dikatakan kurang praktis. Pasalnya metode ini mengharuskan pasien menghabiskan waktu di siang hari untuk tidur dan terbangun semalaman. Selama masa pengobatan, seluruh aktivitas di siang hari, jumlah cahaya yang masuk dan suara-suara bising juga harus dibatasi agar pasien agar bisa tertidur.
2. Terapi cahaya terang di pagi hari
Metode ini membutuhkan kotak cahaya yang sangat terang atau sinar matahari. Tapi untuk memperoleh keterangan cahaya yang tepat, penderita harus berkonsultasi dengan pakar tidur terlebih dulu karena jika menggunakan keterangan cahaya di waktu yang kurang tepat maka dikhawatirkan akan memperburuk kondisi DSPD-nya.
Bahkan terapi ini juga bisa memperburuk kondisi penderita beberapa gangguan psikiatri lainnya.
3. Melatonin
Hormon alami yang dibuat oleh kelenjar pineal ini lebih efektif jika diterapkan pada penderita DSPD ketimbang insomnia. Suplemen melatonin juga dijual bebas di toko makanan sehat dan toko obat. Meski begitu pada sejumlah produk daftar dosis dan komposisinya terkadang kurang akurat sehingga penderita disarankan hanya mengonsumsi merek suplemen yang terpercaya.
Suplemen melatonin juga tetap perlu diwaspadai karena menimbulkan sejumlah efek samping seperti mudah ngantuk di siang hari, mudah bingung, nyeri perut, mimpi buruk, tidur sambil berjalan dan pening. Suplemen ini juga memberikan interaksi negatif terhadap sejumlah obat-obatan seperti untuk diabetes, immunosuppressant, pil pengendali kelahiran dan obat pengencer darah.
Kendati sangat efektif, penderita masih perlu mencari bantuan pakar tidur untuk mengetahui dosis melatonin yang tepat untuk dikonsumsi dan kapan saja suplemen ini harus diminum. Dosis kecil (0,5 miligram) biasanya diberikan lebih awal di malam hari untuk membantu mengembalikan jam biologis secara perlahan hingga lama-kelamaan penderita bisa tidur dan bangun tepat waktu.
DSPD adalah gangguan tidur yang seringkali disalahartikan dengan insomnia. Penderita DSPD rutin mengalami susah tidur tapi sekali mereka tertidur maka durasinya akan melebihi jam tidur biasa lalu terbangun di siang hari atau mendekati sore hari. Sebaliknya, pasien insomnia terkadang susah tertidur, sering terbangun atau bangun terlalu cepat (bisa juga kombinasi ketiganya).
Selain itu, pasien insomnia jarang bisa tidur semalam suntuk, bahkan mungkin di hari libur. Tapi penderita DSPD bisa tidur semalaman dan jarang bisa terbangun tepat waktu di pagi hari.
Mungkin kebanyakan orang merasa normal jika mereka begadang untuk bersosialisasi atau bekerja lalu keesokan harinya mereka bisa memuas-muaskan diri untuk tidur, tapi penderita DSPD juga cenderung kesulitan untuk kembali ke jadwal tidur-bangun 'normal' meski telah berulang kali mencobanya.
Agar bisa tertidur, penderita DSPS pun harus berbaring di ranjang selama berjam-jam dulu. Sayangnya sekali bisa tertidur maka secara alami mereka akan 'kebablasan' dan bangun kesiangan.
Secara keseluruhan, DSPD adalah akibat dari siklus tidur yang tertunda. Jam biologis seharusnya mengatur kapan seseorang harus tidur, bangun, merasa lapar dan kapan sejumlah hormon harus dilepaskan dari tubuh. Namun pada penderita DSPS, jam biologisnya datang belakangan alias terlambat sehingga mereka sering tidur larut malam tapi bangun kesiangan.
DSPD paling sering ditemukan pada remaja tapi kondisi ini juga bisa terjadi pada orang dewasa. Pasalnya, saat masih kecil mereka harus tidur sejak jam 8-9 malam tapi memasuki usia remaja, secara alami jam tidurnya berubah menjadi jam 11 malam atau tengah malam.
Tidur larut malam itulah yang memotong durasi tidur yang dibutuhkan remaja (9-10 jam) sehingga ketika mereka tidur larut malam, paginya mereka akan sulit bangun, merasa kurang tidur dan kelelahan sepanjang hari. Tapi kondisi ini hanya terjadi pada remaja tertentu.
Meski begitu jika perubahan jam biologis ini menimbulkan masalah terkait fungsi tubuh seseorang dalam aktivitas hariannya, bisa jadi hal itu merupakan gejala dari DSPD dan harus segera diberi pengobatan. Berikut tiga metode pengobatan utama untuk DSPD seperti halnya dikutip dari huffingtonpost, Senin (8/10/2012):
1. Chronotherapy atau mengatur ulang jam biologis pasien
Pasien akan diminta tidur (dan bangun) 2-3 jam setiap harinya hingga mencapai jam tidur normal dan lama-kelamaan waktu bangunnya akan menyesuaikan dengan jam bangun tidur normal.
Meski sangat efektif, metode ini dikatakan kurang praktis. Pasalnya metode ini mengharuskan pasien menghabiskan waktu di siang hari untuk tidur dan terbangun semalaman. Selama masa pengobatan, seluruh aktivitas di siang hari, jumlah cahaya yang masuk dan suara-suara bising juga harus dibatasi agar pasien agar bisa tertidur.
2. Terapi cahaya terang di pagi hari
Metode ini membutuhkan kotak cahaya yang sangat terang atau sinar matahari. Tapi untuk memperoleh keterangan cahaya yang tepat, penderita harus berkonsultasi dengan pakar tidur terlebih dulu karena jika menggunakan keterangan cahaya di waktu yang kurang tepat maka dikhawatirkan akan memperburuk kondisi DSPD-nya.
Bahkan terapi ini juga bisa memperburuk kondisi penderita beberapa gangguan psikiatri lainnya.
3. Melatonin
Hormon alami yang dibuat oleh kelenjar pineal ini lebih efektif jika diterapkan pada penderita DSPD ketimbang insomnia. Suplemen melatonin juga dijual bebas di toko makanan sehat dan toko obat. Meski begitu pada sejumlah produk daftar dosis dan komposisinya terkadang kurang akurat sehingga penderita disarankan hanya mengonsumsi merek suplemen yang terpercaya.
Suplemen melatonin juga tetap perlu diwaspadai karena menimbulkan sejumlah efek samping seperti mudah ngantuk di siang hari, mudah bingung, nyeri perut, mimpi buruk, tidur sambil berjalan dan pening. Suplemen ini juga memberikan interaksi negatif terhadap sejumlah obat-obatan seperti untuk diabetes, immunosuppressant, pil pengendali kelahiran dan obat pengencer darah.
Kendati sangat efektif, penderita masih perlu mencari bantuan pakar tidur untuk mengetahui dosis melatonin yang tepat untuk dikonsumsi dan kapan saja suplemen ini harus diminum. Dosis kecil (0,5 miligram) biasanya diberikan lebih awal di malam hari untuk membantu mengembalikan jam biologis secara perlahan hingga lama-kelamaan penderita bisa tidur dan bangun tepat waktu.
No comments:
Post a Comment